Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa Singapura menginginkan adanya ekspor listrik Solar Panel dari Indonesia.
Namun, Luhut membeberkan bahwa Indonesia ingin proses pembuatan solar panel akan dilakukan sepenuhnya di dalam negeri. Luhut menjelaskan bahwa Indonesia ingin membangun industri dalam negeri mulai dari solar panel, baterainya, dan produk turunan selanjutnya, yang mana nantinya produk akhir baru akan diekspor.
“Mengenai mereka (Singapura) pingin ada ekspor solar panel dari Indonesia listriknya, dan Singapura. Tapi kita nggak mau begitu, maunya harus end to end. Kita harus bangun solar panel di sini, industrinya, kemudian baterainya, dan seterusnya. Baru kita ekspor ke Singapura jadi win-win,” ungkapnya usai acara Indonesia Leading Economic Forum 2023, Jakarta, Selasa (14/3/2023).
Sehingga, nantinya Indonesia akan mengekspor produk akhir, bukan hanya mengekspor bahan mentahnya saja. Dengan begitu, Luhut menyebutkan investasi dalam membangun industri untuk solar panel bisa mencapai US$ 50 miliar atau setara dengan Rp 769,4 triliun (asumsi kurs Rp 15.389 per US$).
“Investasi seluruhnya nanti kalau kita lihat bisa potensi ke US$ 50 miliar,” tambahnya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, Djoko Siswanto mengungkapkan bahwa pihaknya serius dalam mendorong akselerasi penggunaan energi baru terbarukan, salah satunya terkait energi surya dengan pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Namun untuk menggenjot pengembangan energi baru terbarukan itu tidak murah. Indonesia sendiri setidaknya butuh dana hingga Rp 4 triliun untuk membangun produksi panel surya. “Saya bahkan pernah punya ide mengumpulkan BUMN menghadap menteri keuangan dan Kementerian Sekretariat Negara terkait kebutuhan dana Rp 4 triliun,” jelasnya dalam Energy & Mining Outlook 2023,Kamis (23/2/2023).
Seperti diketahui, Indonesia sangat kaya akan energi terbarukan. Sementara pemanfaatan energi surya belum banyak digunakan dari potensinya. Padahal, Indonesia adalah Negara khatulistiwa yang seharusnya bisa menjadi pemimpin dalam pengembangan energi surya. Namun dengan minimnya pemanfaatan energi surya, banyak yang menilai Indonesia dinilai kurang serius.
Hal tersebut juga terlihat dari prosentase Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang belum mencapai 50%. Djoko mengatakan komponen modul surya di Indonesia masih sering didatangkan dari luar negeri.
Menurut Djoko, hal ini masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Sebab pengembangan energi terbarukan, tidak hanya bergantung pada permintaan pasar, tetapi juga realisasi pengembangan PLTS secara keseluruhan. “Kita punya pabrik tapi cuma sekedar intalasi. Belum berkembang karena teman-teman lebih senang impor. itu kendala kita kenapa TKDN belum 50%,” jelasnya.