Gempa dahsyat yang mengguncang Turki pada Februari lalu disebut terjadi karena teknologi Amerika Serikat (AS). Informasi teori konspirasi tersebut tersebar di media sosial. Bukan hanya sekali itu, teknologi yang sama kerap dijadikan tumbal berbagai bencana alam lain seperti banjir.
Fasilitas High-frequency Active Auroral Research Program milik AS merupakan proyek bersama antara Angkutan Udara dan Angkatan Laut negara tersebut. Proyek tersebut dilakukan pada 1993. Namun pada 2015, proyek tersebut dialihkan ke University of Alaska Fairbanks (UAF).
Sejumlah teori konspirasi terus terdengar https://apkmeja138.com/ terkait HAARP. Misalnya penyebab bencana alam dan klaim mantan gubernur serta pegulat Minnesota Jesse Ventura yang menyebutnya digunakan sebagai alat pengontrol pikiran.
Fasilitas tersebut, berdasarkan postingan di Facebook, juga disebutkan dapat mengendalikan cuaca Bumi. Yakni dengan partikel logam bergetar di atmosfer dengan gelombang radio, dikutip Canberra Times, Rabu (17/5/2023).
Unggahan tersebut menyebutkan partikel disebar di atmosfer menggunakan pesawat. Ini dilakukan sebelum HAARP melakukan transmisi gelombang radio ke partikel yang akhirnya bisa mengubah cuaca.
Namun berdasarkan penuturan para ahli kepada AAP FactCheck, klaim itu dibantah. Mereka mengatakan teknologi tersebut tidak berdampak pada troposfer atau stratosfer, tempat cuaca terjadi.
Profesor Fred Menk, seorang ahli ionosfer bumi dan magnetosfer dari University of Newcastle, mengatakan klaim itu omong kosong. Menurutnya tidak mungkin semua itu berdampak pada cuaca harian.
“Transmisi radio HF (Frekuensi Tinggi) berkaitan dengan interaksi dengan partikel terionisasi – elektron – di ionosfer, di atas ketinggian 100 km. Cuaca di permukaan tanah didorong oleh efek geofisika, sebagian besar pemanasan matahari, ke atmosfer netral yang jauh lebih dekat ke tanah, ” jelasnya.
“Ada sejumlah besar pemancar HF secara global yang mengarahkan sinyal daya menengah atau tinggi ke ionosfer. Ini digunakan untuk penyiaran radio jarak jauh dan tujuan lain seperti pengawasan (radar) dan memantau keadaan ionosfer.”
Peneliti HAARP buka suara
Manajer program HAARP University of Alaska Fairbank, Jessica Matthews juga menegaskan hal tersebut. Alat itu, dia menegaskan, tidak bisa menciptakan atau memperkuat bencana alam.
Sementara itu, profesor teknik Thomas R.Briggs Universitas Cornell bernama David Hysell menjelaskan HAARP merupakan pemancar radio yang lebih besar dari kebanyakan alat serupa. Dia juga meyakinkan jika secara teori HAARP tidak bisa menciptakan bencana gempa.
Selain itu David Malaspina selaku ilmuwan peneliti di Laboratory for Atmospheric and Space Physics (LASP) di University of Colorado Boulder juga berusaha menjelaskan soal HAARP. Dia mengatakan gelombang radio di dalamnya seperti stasiun radio AM yang kuat.
Dia menambahkan tidak ada mekanisme di dalam siaran radio AM bisa jadi penyebab gempa bumi. Gelombang radio seperti itu menembus kurang dari 1 cm di dalam tanah, jauh dari gempa bumi.
“Gempa Bumi 2023 di Turki berasal dari ~17 km ke bawah.” tuturnya.
Kekuatan gelombang radio berusaha dijelaskan oleh profesor riset teknik elektro dan komputer di Universitas Boston, Toshi Nishimura. Dia menjelaskan gelombang radio buatan bisa menggangu atmosfer bagian atas secara lokal, yang sama juga terjadi pada Matahari.
Nishimura juga menjelaskan tidak tahu ada bukti ilmiah gelombang buatan bisa membuat gangguan lebih kuat dan bedampak pada seismik lokal. Tudingan yang ada juga dia bantah.
“Saat ini tidak ada teknologi untuk meluncurkan gelombang radio dari tanah dan mengenai kota secara tepat,” kata Nishimura. “Tampaknya tidak mungkin gelombang radio dapat berdampak pada kondisi seismik yang jauh.” imbuhnya.